Pages

2 Desember 2012

Emak

Aku meringis ketika melihat persediaan beras Emak yang tinggal sedikit. Kalender yang menggantung di dinding dapur menunjukkan tanggal sepuluh. Masih awal bulan, tapi beras tinggal sedikit. Batinku. Sejujurnya aku ingin membantu Emak, tapi aku hanyalah anak kecil ingusan yang tak tahu apa–apa soal dapur dan isinya. Yang aku tahu hanyalah berangkat sekolah di pagi hari, lalu siangnya ke sawah dan sore hari ke surau pak Kaji.
Emak adalah perempuan tangguh dan tahan banting. Emak tidak pernah sama sekali mengeluh tentang kondisinya yang serba kekurangan. Emak tidak seperti aku yang sering berkata ‘Seandainya saja’. Emak tidak pernah sama sekali menangisi hidupnya yang terlampau kejam terhadapnya.
“Duuuuuul . . . . . . jaga adikmu! Emak ingin ke rumah bu lurah sebentar. Ono urusan (ada urusan). Kau jangan pergi kemana – mana!” perintah Emak sambil tergesa – gesa.
“Ada urusan apa, Mak? Sepertinya penting sekali,” aku memandang Emak dengan penuh tanya. Tidak biasanya emak seperti ini.  Biasanya jika Emak pergi selalu menyuruh aku untuk ikut serta. Namun kali ini Emak malah menyuruhku tinggal di rumah menjaga adikku, Buyung, yang masih berusia delapan belas bulan.
Awakmu sih cilik, Dul (kamu masih kecil, Dul). Ora perlu ngerti (tidak perlu tahu) . Wis..Emak pergi dulu. Hati – hati kau di rumah. Assalamu’alaikum,” pamit Emak sambil menyambar tas hitam besar kebanggannya. Kata Emak jika beliau memakai tas hitam besar itu, beliau tak kalah gengsi dengan istri pejabat. Ahh…Emak ada – ada saja.
Namun, tas itu memang bersejarah bagi Emak. Tas hitam merek GUESS imitasi itu adalah hadiah dari Bapak tiga tahun yang lalu, saat pulang dari Taiwan, tempatnya menjadi TKI.
Ya. Bapakku adalah seorang TKI. Aku tidak tahu Bapak TKI legal atau illegal. Yang kutahu hanyalah Bapak kerja di sebuah perusahaan di sana. 

Tujuh tahun yang lalu . . .
“TKI??? Arep dadi TKI (mau jadi TKI) ? Gawe opo, Pak (untuk apa, Pak) ?” Emak memandang Bapak dengan mimik muka yang susah ditebak. Antara terkejut dan heran. “Lalu, bagaimana denganku dan Abdul, Pak? Apa Bapak tega meninggalkan aku dan Abdul? Apa pekerjaan sebagai sopir bis masih kurang?” Emak memberondong Bapak dengan pertanyaan yang bernada memojokkan. Namun, bapak hanya diam. Tidak satupun kata keluar dari mulut Bapak. Esoknya Bapak menenteng tas besar. Menunjukkan keseriusan niatnya. Emak hanya diam sambil sesekali menyeka bulir – bulir air mata yang jatuh ke pipinya.
Saat itu aku masih berusia tujuh tahun. Namun ingatanku tentang kejadiaan itu masih sangat lekat. Kejadian saat bapak pergi bekerja menjadi TKI.
Lima tahun kemudian bapak pulang ke kampung. Memang selama lima tahun itu, Bapak selalu mengirimkan uang yang berlebih. Tapi aku merasa tidak pernah mendapat kasih sayang dari seorang ayah yang seharusnya aku dapatkan.
Saat pulang, Bapak hanya tinggal selama dua minggu. Waktu yang sangat singkat bagiku, mengingat Bapak telah meninggalkan kami selama tiga tahun. Dan hanya terbayar dengan dua minggu saja. Di rumah pun, Bapak selalu sibuk kesana kemari. Pagi – pagi berangkat dan baru datang setelah adzan isya’ berkumandang. Saat aku tanya mengapa Bapak jarang di rumah, Bapak hanya menjawab ono urusan, kowe ora perlu ngerti, sih cilik (ada urusan, kamu tidak perlu tahu, masih kecil).
Lalu tiba – tiba, Bapak sudah berkemas untuk kepulangannya ke Taiwan. Ahh, Bapak…andaikan Bapak tahu aku sangat merindukannya. Tapi saat itu aku masih kecil, tidak tahu menahu tentang urusan orang tua dan tidak mau tahu. Selain itu Bapak bukan tipe seorang ayah yang romantis, yang ingin dipeluk anaknya ketika pulang dari bekerja. Bapak adalah seorang yang keras, egois, dan pelit bicara tapi ulet dalam bekerja, watak khas orang Madura.
***

1 komentar:

  1. Dullll...
    Emak pergi ke warung dulu yaa. kamu jaga Mandra dan Atun!!
    :) :)

    BalasHapus

Nggak afdol kalo nggak menyisipkan beberapa kata :)