Pages

7 Maret 2014

Random (part 1)

710 Peachtree St NE, Atlanta, GA 30308, 10/10/2020, 3.30 pm
Bau masakan rendang tercium di seluruh penjuru apartemenku. Aku masih dengan celemek yang menempel di bajuku sibuk mempersiapkan makan malam istimewa hari ini. Hari ini tepat satu bulan kami tinggal di sini, jadi aku ingin membuat masakan yang sedikit berbeda dari biasanya. Di sini kami tinggal di apartemen sederhana dekat kampus tempat dia mengerjakan researchnya. Sebelum aku ikut pindah kesini, dia tinggal di Collegiate Housing yang harga sewanya lebih murah dibanding apartemen yang sekarang kami tinggali. Tetapi setelah aku ikut dia pindah kesini, kami berdua memutuskan untuk mencari apartemen yang sedikit lebih besar.
Sejujurnya aku tidak pernah menyangka bisa berada jauh dari orang tua, di benua yang berbeda. Ya memang dulu aku pernah tinggal lumayan lama di Jerman, tapi itu pun aku hidup gratis disana karena mengikuti aupair. Sedangkan disini, segala sesuatunya mahal tidak ada yang gratis. Lagipula aku tidak bisa terus menerus mengandalkan uang beasiswa dan gaji hasil dari researchnya. Aku harus bekerja. Tapi sampai saat ini aku masih belum bisa mencari pekerjaan karena proses pembuatan visaku belum selesai.
Keputusanku untuk pindah kesini sebenarnya sangat berat. Aku harus meninggalkan pekerjaanku dan menunda program masterku. Yah…aku mengesampingkan mimpi-mimpiku terlebih dahulu karena biar bagaimanapun pekerjaanku yang satu ini jauh lebih mulia. Aku yakin itu.
Ah, sudah hampir pukul 5 sore, itu berarti sebentar lagi akan terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam nyaring seperti biasanya. Dan aku harus menyelesaikan acara masak-memasakku. Nanti akan kuceritakan lagi kisahku saat disini, karena sekarang aku harus bersiap menyambut tamu agungku :)

23 Desember 2012

Ayah dan Susu Tumpah

Aku masih merekam kejadian itu. Saat itu aku masih berusia 1 tahun 10 bulan. Ketika itu, ibu sedang dalam masa-masa persalinan. Yahh. . .aku masih kecil, belum peka keadaan dan situasi. Aku hanya tahu kalo ibu mau melahirkan seorang adik bayi. 

Entahlah, saat itu aku merasa diabaikan dan tidak diperhatikan sama sekali. Ayahku sibuk mengurusi ibu. Aku dititipkan sementara di rumah budhe yang tidak jauh dari rumah. Hari-hariku hanya ditemani budhe (kakak perempuan ibuku) dan sesekali om-ku juga menemaniku.

Suatu sore di rumah, aku ingin minum susu. Lalu ayah membuatkanku sebotol susu. Tapia pa yang terjadi selanjutnya? Aku tidak meminum susu itu. Aku tumpahkan semua isinya. Lalu aku ratakan tumpahan susu itu di lantai. Tiba-tiba ayah datang, menggendongku, lalu membawaku ke kamar mandi. Aku disiram dengan air. Namun anehnya, aku tidak menangis sama sekali. Aku diam saja. Sampai akhirnya pengasuhku datang dan menghentikan ayahku. 

Ayahku tidak jahat. Aku yang salah. Seharusnya aku meminum susu itu. Tapi aku ingin protes. Dan susu itu menjadi bentuk protesku. Mengapa akhir-akhir ini ayah tidak memperhatikan aku? Mengapa ayah lebih memperhatikan adik bayi kecil? Mengapa aku sering ditinggal menjenguk adik?
Ayah mungkin lelah saat itu. Maafkan aku ayah, aku tidak tahu. Seharusnya aku meminum susu buatan ayah itu. Seharusnya aku mengerti kondisi ayah. Seharusnya aku tidak membuat ayah marah. Maaf ayah…

*ditulis pada tanggal 1 Desember 2010. Akhirnya dipost juga setelah dua tahun mengendap di pojokan folder laptop :D

22 Desember 2012

Short Story From Melaka #5

Surat Cinta Untuk Ibuk

Teruntuk ibu tercinta di seberang sana. Semoga Allah selalu menaungimu dengan cinta dan kasih-Nya.

Assalamu'alaikum wr.wb.
Ibuk, bagaimana hari-harimu disana? Sehat buk? Masih tetap semangat mengajar di sekolah kan buk?
Ibukku yang paling cantik sedunia, akhir-akhir ini aku sering bermimpi tentangmu, Buk. Apakah ibuk baik-baik saja disana? Semoga Allah selalu melindungimu, ibuk sayang.
Rasanya baru beberapa waktu yang lalu ibuk mengajarkan aku membaca alif-ba-ta-tsa dan A-B-C.  Rasanya baru kemarin aku ditimang-timang ibuk, dibuatkan susu, dimandiin ibuk, dianter pergi ke TK pas hari pertama masuk. Rasanya baru beberapa hari yang lalu ibuk mengambilkan raportku dan selalu tersenyum walaupun hasilnya tidak sesuai yang ibuk harapkan. Rasanya baru beberapa saat yang lalu ibuk mengantarkan aku ke asrama dan berusaha untuk menahan tangis saat meninggalkanku disana.
Ibuk, sudah banyak perjalanan hidup yang ibuk lewati hingga usiamu yang setengah abad. Merasakan kebahagiaan saat menerima lamaran seorang laki-laki yang kelak menjadi imam keluarga. Merasakan kebahagiaan saat seorang aku dan adik lahir. Saat melihat aku dan adik tumbuh hingga saat ini. Pun merasakan kesedihan saat harus merawatku dan adik di Rumah Sakit. Kesedihan saat berbulan-bulan merawat ayah karena sakit jantung. Namun, ibuk tidak pernah menunjukkan kesedihan itu. Ibuk masih bisa tersenyum saat aku dan adik sakit. Saat ayah sakit. Bahkan ibuk masih bisa menghibur kami dengan lelucon khas ibuk. 
Aku masih ingat saat itu, saat ibuk curhat pertamakalinya kepadaku. Hingga aku bahkan bisa merasakan kesedihan ibuk. Perasaan kesedihan yang sama pada setiap wanita jika berada pada kondisi yang ibuk alami saat itu. Aku menangis hingga tidak bisa mengeluarkan kata. Bahkan huruf 'A' pun rasanya susah keluar dari mulutku. Tapi ibuk malah memelukku dan menenangkanku. Ibuk masih saja berkata "sudah nangisnya jangan berlebihan. Nggak baik, mbak. Allah pasti memberikan solusi yang terbaik untuk ibuk dan kita semua. Tugas ibuk adalah berusaha memperbaiki. Selanjutnya serahkan ke Gusti Allah." 
Ibuk, sungguh engkau adalah perempuan terhebat di hidupku. Sumber inspirasi terbesar bagiku. Titi (panggilan saya untuk eyang putri) pernah bercerita "mbiyen Titi ndak maringi ijin kuliah nang ibukmu, Nduk. Tak kongkon kerjo ae, wong mbiyen Mbahkung akeh utange, duwite ndak enek gawe kuliah. Tapi, ibukmu panggah dipekso, dikongkon pakpuhmu sinau gawe ujian masuk Perguruan Tinggi'. Dasare ibukmu seneng sinau. Trus pakpuhmu panggah mekso Titi ngijini ibukumu kuliah. Yo bismillah mugo niate thollabul 'ilmi diparingi ridho teko Gusti Allah (dulu Titi tidak memberikan izin kuliah ke ibukmu, Nduk. Titi suruh ibukmu bekerja saja, karena dulu Mbahkung dulu banyak hutang, tidak ada uang buat kuliah ibukmu. Tapi, ibukmu terus dipaksa, disuruh sama Pakpuhmu belajar untuk ujian masuk Perguruan Tinggi. Memang dasarnya ibukmu senang belajar. Trus Pakpuhmu maksa Titi untuk ngasih ijin ibukmu kuliah. Ya bismillah, semoga niatnya thollabul 'ilmi diridhoi Gusti Allah)."
Ibuk, suatu saat nanti aku ingin seperti dirimu. Menjadi seorang ibu yang lemah lembut saat kami butuh kehangatan. Menjadi seorang ibu yang tegas saat kami butuh teguran. Menjadi ibu yang tough saat harus menggantikan posisi ayah. Ibuk tidak hanya menjadi ibu kami tetapi juga ibu bagi murid-murid ibuk di sekolah. Ibuk tidak pernah lelah mendengarkan curhatan murid-murid ibuk. Bahkan ibuk sudah seperti ibu kandung bagi mereka, menggantikan ibu mereka yang pergi ke luar negeri demi sesuap nasi. 
Sungguh mulia dirimu, ibuk. Ibuk rela tidak membeli baju baru, handphone baru, sepatu baru demi uang kuliahku dan uang sekolah adik, demi menjaga asap dapur tetap mengepul, demi membahagiakan kami.
Suatu ketika ayah pernah bercerita "mbak, ibuk itu sumber inspirasi ayah. Menjadi suami ibuk adalah kebahagiaan yang Subhanallah tidak bisa diukur nilainya. Kenapa? Karena ibuk sangat menjaga kehormatannya sebagai istri dan perempuan, yang segala sesuatu dalam hidupnya hanya untuk Allah. Ayah sungguh beruntung bisa menjadi imam seorang ibuk. Bahkan hanya dalam tiga kali bertemu ayah yakin bahwa ibuk adalah calon pendamping yang insyaallah sholihah bagi ayah dan anak-anak ayah nanti."
Semoga Allah selalu memberikan kesehatan kepadamu, ibuk. Selalu menjagamu dalam siang dan malam-Nya. Selalu memelukmu dalam kehatangan ridho-Nya. Barokallahu fii 'umriikum, wa fii hayatikum ibuk. Selamat berusia setengah abad ibuk. Cantikmu akan selalu berpendar dan terpancar dalam senyum cintamu ibuk sayang. 

Melaka, 23 Desember 2012
Salam peluk cium dari ananda di rantau :)
 

2 Desember 2012

Emak

Aku meringis ketika melihat persediaan beras Emak yang tinggal sedikit. Kalender yang menggantung di dinding dapur menunjukkan tanggal sepuluh. Masih awal bulan, tapi beras tinggal sedikit. Batinku. Sejujurnya aku ingin membantu Emak, tapi aku hanyalah anak kecil ingusan yang tak tahu apa–apa soal dapur dan isinya. Yang aku tahu hanyalah berangkat sekolah di pagi hari, lalu siangnya ke sawah dan sore hari ke surau pak Kaji.
Emak adalah perempuan tangguh dan tahan banting. Emak tidak pernah sama sekali mengeluh tentang kondisinya yang serba kekurangan. Emak tidak seperti aku yang sering berkata ‘Seandainya saja’. Emak tidak pernah sama sekali menangisi hidupnya yang terlampau kejam terhadapnya.
“Duuuuuul . . . . . . jaga adikmu! Emak ingin ke rumah bu lurah sebentar. Ono urusan (ada urusan). Kau jangan pergi kemana – mana!” perintah Emak sambil tergesa – gesa.
“Ada urusan apa, Mak? Sepertinya penting sekali,” aku memandang Emak dengan penuh tanya. Tidak biasanya emak seperti ini.  Biasanya jika Emak pergi selalu menyuruh aku untuk ikut serta. Namun kali ini Emak malah menyuruhku tinggal di rumah menjaga adikku, Buyung, yang masih berusia delapan belas bulan.
Awakmu sih cilik, Dul (kamu masih kecil, Dul). Ora perlu ngerti (tidak perlu tahu) . Wis..Emak pergi dulu. Hati – hati kau di rumah. Assalamu’alaikum,” pamit Emak sambil menyambar tas hitam besar kebanggannya. Kata Emak jika beliau memakai tas hitam besar itu, beliau tak kalah gengsi dengan istri pejabat. Ahh…Emak ada – ada saja.
Namun, tas itu memang bersejarah bagi Emak. Tas hitam merek GUESS imitasi itu adalah hadiah dari Bapak tiga tahun yang lalu, saat pulang dari Taiwan, tempatnya menjadi TKI.
Ya. Bapakku adalah seorang TKI. Aku tidak tahu Bapak TKI legal atau illegal. Yang kutahu hanyalah Bapak kerja di sebuah perusahaan di sana. 

Tujuh tahun yang lalu . . .
“TKI??? Arep dadi TKI (mau jadi TKI) ? Gawe opo, Pak (untuk apa, Pak) ?” Emak memandang Bapak dengan mimik muka yang susah ditebak. Antara terkejut dan heran. “Lalu, bagaimana denganku dan Abdul, Pak? Apa Bapak tega meninggalkan aku dan Abdul? Apa pekerjaan sebagai sopir bis masih kurang?” Emak memberondong Bapak dengan pertanyaan yang bernada memojokkan. Namun, bapak hanya diam. Tidak satupun kata keluar dari mulut Bapak. Esoknya Bapak menenteng tas besar. Menunjukkan keseriusan niatnya. Emak hanya diam sambil sesekali menyeka bulir – bulir air mata yang jatuh ke pipinya.
Saat itu aku masih berusia tujuh tahun. Namun ingatanku tentang kejadiaan itu masih sangat lekat. Kejadian saat bapak pergi bekerja menjadi TKI.
Lima tahun kemudian bapak pulang ke kampung. Memang selama lima tahun itu, Bapak selalu mengirimkan uang yang berlebih. Tapi aku merasa tidak pernah mendapat kasih sayang dari seorang ayah yang seharusnya aku dapatkan.
Saat pulang, Bapak hanya tinggal selama dua minggu. Waktu yang sangat singkat bagiku, mengingat Bapak telah meninggalkan kami selama tiga tahun. Dan hanya terbayar dengan dua minggu saja. Di rumah pun, Bapak selalu sibuk kesana kemari. Pagi – pagi berangkat dan baru datang setelah adzan isya’ berkumandang. Saat aku tanya mengapa Bapak jarang di rumah, Bapak hanya menjawab ono urusan, kowe ora perlu ngerti, sih cilik (ada urusan, kamu tidak perlu tahu, masih kecil).
Lalu tiba – tiba, Bapak sudah berkemas untuk kepulangannya ke Taiwan. Ahh, Bapak…andaikan Bapak tahu aku sangat merindukannya. Tapi saat itu aku masih kecil, tidak tahu menahu tentang urusan orang tua dan tidak mau tahu. Selain itu Bapak bukan tipe seorang ayah yang romantis, yang ingin dipeluk anaknya ketika pulang dari bekerja. Bapak adalah seorang yang keras, egois, dan pelit bicara tapi ulet dalam bekerja, watak khas orang Madura.
***