Pages

28 April 2012

Bromo

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” (Gie, 1969)


Ya mungkin Bromo tidak seganas Semeru. Mungkin perjalananku ini tidak sehebat Gie pada masanya. Tapi ini great moment buat aku yang pendaki amatiran #halah. Dan sungguh, ndaki gunung itu bikin ketagihan. Sebenarnya aku sudah punya list gunung mana yang akan kudaki. Terdengar berlebihan sebenarnya, tapi mendaki gunung merupakan salah satu dari sekian banyak impian saya :)

***

Surabaya, 10 Maret 2012
Aku dan senior-senior FORSAMMAS (Forum Silaturahmi Alumni Mantsalisma Surabaya) *panjang bener ya* berangkat dari Surabaya. Pas itu aku dijemput sama mas Ilham(Tekkim) di depan Medical Center ITS jam 16.30, kita berdua meluncur ke kantor mas Koko (Perkapalan). Pas nyampe sana udah ada mas Koko sama mas Ferry (Elektro) yang nungguin. Akhirnya aku tuker naik mobilnya mas Ferry, trus mas Koko naik mobilnya mas Ilham. Aku sama mas Ferry dapet bagian jemput mas Fatih, mbak Ceria + temennya (mbak Nisca), sama mbak Fitri. Trus mas Koko sama mas Ilham jemput si Dadan (Despro), mas Rahmat (Perkapalan), mas Erlan (Lingkungan), sama mas Ainul. Tapi akhirnya mas Ainul pindah ke mobilnya mas Ferry.
Perjalanan dari Surabaya lancar banget sampe akhirnya macet di daerah Lapindo, Porong. Orang semobil pada kelaparan, mana nggak ada yang bawa makanan cuma ada permen. Tapi alhamdulillah, kita berhasil menerobos macetnya Porong #halah. Akhirnya di daerah Probolinggo (ga tau Probolinggo mana) kita mampir ke Indom***t beli minum, camilan, trus mbak Ceria beli martabak *nyamm. Perjalanan lanjut dan aku tertidur. Kebangun bentar trus liat jalanan gelap banget. Ga tau deh lewat mana. Trus dibangunin sama mbak Ceria pas transit di masjid gitu. Akhirnya aku shalat isya' dijama' sama maghrib. Habis itu cus lagi. Lewat jalan gelap-gelap, akhirnya jalannya rada naik gitu. Trus aku ketiduran lagi, bangun-bangun udah nyampe tempatnya. Nyampe sana sekitar jam 2 pagi. 

Bromo, 11 Maret 2012
Sekitar jam 03.30 aku dibangunin sama mas Ferry kalo jeep-nya mau berangkat. Anyway, kalo mau ke Bromo atau Penanjakan sudah ada kendaraan khusus yaitu berupa jeep
Pas mau ke Penanjakan itu jalannya serem, bener-bener nanjak gitu. Kata mas-mas yang udah pernah kesana, sunrise di Penanjakan emang keren abis. Jadi semangat banget pengen ngejar sunrise-nya. Tapi sayang sekali, pas kita udah nyampe puncak Penanjakan malah kabut, akhirnya ga bisa liat sunrise deh :(
Pas itu juga, aku pertamakali ngerasain shalat subuh di gunung. Adeeem bangett.. Karena ga ada air, aku tayamum trus sajadahnya pake shawl.hohooo

Kiri-kanan: Dadan, mas Ferry, aku, mbak Nisca, mas Fatih.
Tengah: mbak Fitri
Kabut di Penanjakan
Karena kabut akhirnya kita hopeless dan milih turun buat lanjut ke kawah Bromo. 
Mas Koko, ketua rombongan 


Foto-foto sebentar pas turun Penanjakan

Perjalanan dilanjutkan ke kawah Bromo. Wohoo.. Bener-bener ga sabar buat ke kawahnya. Tapi sayang, mbak Nisca ga bisa ikut naik ke Kawahnya, agak ga enak badan katanya. Mbak Nisca, mas Koko, sama mas Erlan nungguin di tempat orang jualan gitu di bawah. Yang lain pada semangat buat naik ke kawah.


Kiri-kanan: aku, mbak Fitri, mas Erlan, mbak Nisca, mbak Ceria, Dadan
Istirahat sejenak. Kiri-kanan: mas Ainul, mas Ferry, aku

Naik-naik ke Puncak Gunung
Foto Narsis Dulu
Mungkin pengalaman naik gunung Bromo ini ga ada menantang-menantangnya ya. Maklum masih beginner, jadi nyoba level yang ringan dulu.hehhee... Okaay, saatnya merencanakan the next destination :)

Outfit: Nevada jaket, unbranded jilbab, Dian Pelangi shawl, St.Yves celana, Converse All Star sneakers

NB: Semua foto diambil dari Album Foto mbak Ceria 'Bromo with Forsammas' click here 
      dengan sedikit editan dari sang pemilik blog :D


From Daughter to Father

Happy sweet 52, ayah :)
May your life be full of joy, love and light. May your way be an endless wander through the miracles all along and interesting and well-hearted people cross it. May the only wrinkles you get those coming from honest laughter and the only memories of your heart consisting of passion and inspiration.
Actually, it's kinda late for saying 'happy birthday' to ayah. His day is 13 April and it's almost the end of April. But late is better than never, right? Okay ayah.. Happy birthday to you. You who always giving me a warm hugs when I was miserable. You who always telling me that life is about giving to others. You who always teaching me how to be a tough person. You who always support my own decisions. You who always pretending to be strong even you're not. 
Aku masih ingat saat-saat berdua di Vespa bersama ayah. Ayah yang selalu mengantarkanku les Sempoa dan EF dengan Vespanya saat anak-anak lain diantar dengan mobil orang tua masing-masing. Dan aku bangga. Ayah yang selalu mengajarkanku mandiri, mengijinkanku belajar jauh dari rumah mulai dari SMA yang di Malang, lalu kuliah di Surabaya. Bahkan Ayah pernah bilang," Ayah nggak masalah Mbak mau belajar ke ujung Eropa sekalipun, tapi pesan Ayah cuma satu. Dijaga shalatnya." Ayah dengan figur yang tegas, kuat, tapi penyayang. Ayah yang berjuang melawan sakit hingga akhirnya bisa sembuh. Ayah yang selalu bangunin mbak sama adek buat tahajud. Ayah yang tidak pernah terlihat lelah saat harus merawat ibu' ketika ibu' 2 bulan dirawat di RS. Ayah yang dengan tangan kokohnya memelukku saat aku pertamakali harus hidup jauh dari rumah. Ayah yang selalu terlihat kece dengan jeans Tommy Hilfiger dan Poloshirt-nya. Ayah yang terlihat berwibawa dengan setelan jasnya. Ayah yang selalu wangi melon :)
Ayah masih ingatkah Ayah saat aku pernah menangis dan mengatakan bahwa Ayah tidak sayang lagi kepada kami, jawaban Ayah saat itu adalah,"Cinta Ayah yang hakiki tentu saja untuk Allah, Nak. Setelahnya tentu untuk keluarga Ayah. Untuk Ibu, mbak, dan adek. Cinta Ayah untuk Ibu tentu jangan ditanyakan lagi. Cinta Ayah untuk mbak dan adek, apa juga harus ditanyakan?" Lalu Ayah mengusap air mataku dan memelukku :')
Ayah mencintai kami dengan caranya sendiri. Mungkin tidak seperti Ibu yang setiap hari bersuara nyaring mengingatkan makan, belajar atau ini itu. Cinta Ayah itu..hangat yang memberikan nyaman.
Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan rahmat pada setiap langkahmu, Ayah. Memberikan kesehatan dan usia yang panjang. Menjadikan sisa umurmu barokah.


Love,




Nabila,your old daughter





7 April 2012

#Quote

"Sometimes I dislike what I'm going through, but I'm always thankful for where it takes me!" - Jason Derulo

Sepotong Cerita Senja


Rasa-rasanya aku tak ingin kembali ke sini
Semua kenangan yang kucoba lupakan
Kembali menyerangku dari segala arah
Aku tak ingin bertemu orang-orang ini
Tempat-tempat ini
Namun aku tahu
Sedikit hatiku masih merindukan secuil kenangan di sini
….
Juanda International Airport-Surabaya 09:14 a.m

Aku meng-klik tulisan shut down pada layar notebook­-ku, menunggunya padam lalu menutupnya. Sejujurnya aku tidak ingin kembali ke kota ini. Kota yang menyimpan seribu kenanganku dengannya. Kota yang setengah mati ingin kuhapus dari memori otakku. Terlalu banyak kenangan tentangnya di sini.
Dua tahun lalu aku meninggalkan kota ini. Berharap aku bisa melupakannya dan segala tentangnya. Dua tahun yang sangat menyiksa. Sudah banyak yang berubah. Entahlah…
Menit demi menit berlalu sejak aku duduk di coffeeshop ini. Menunggu. Senyap. Sepi menggigit, kembali menyeretku ke satu memori. Memori akan saat-saat terakhir itu. Saat terakhir aku bersamanya.
“Apakah semuanya harus berakhir seperti ini…?” tanyaku, berusaha menghilangkan senyap di antara kami. Senyap yang selalu datang saat kami tak sejalan.
“Setelah semua yang kita lalui…apakah kau tetap ingin aku pergi?”
Tak satupun kata terucap dari bibirnya. Kata yang begitu kuharapkan dan bisa menahanku untuk tetap tinggal. Aku mencoba mencari jawaban di matanya. Namun dia berpaling menatap langit senja.
“Maaf, aku harus melupakan dirimu dan semuanya tentangmu. Mencintaimu adalah sebuah kesalahan bagiku. Dan aku baru menyadari itu. Maaf..” ucapnya lirih sambil bangkit dari duduknya. Dia menarik nafas, kemudian berlalu.
Kesunyian kembali hadir…tapi tak lagi sendiri. Kali ini dengan tetes-tetes air mata yang sedari tadi kutahan…

“Nad….”
Sentuhan halus di pundakku menyadarkanku. Kualihkan tatapan, sebersit haru di matanya saat kami berpandangan.
“Hai La…apa kabar?” tanyaku sambil tersenyum seraya cipika-cipiki. Lala, sahabatku….sahabat kami, masih seperti yang dulu. Manis dengan lesung pipitnya yang khas. Hmmh, kenapa semua yang kulihat di kota ini selalu menarikku ke saat itu… dan segala kenangan tentang dirinya?
“Baik. Akhirnya kamu kembali, Nad….,” jawabnya sambil menatapku. Tatapan yang membatku merasa canggung. Dua tahun tak bertemu membuat jarak antara kami semakin lebar. Ingin rasanya aku menangis di pelukannya, seperti yang sering kulakukan dulu saat aku ada masalah.
“Mmm…Nad, langsung ke rumahku aja ya…,” ajaknya.
“Hmmg… Aku…” ragu. Canggung. Entah apa yang akan terjadi jika aku harus ikut dia.
“Bunda sudah menunggu di rumah, Nad. Ayolah, jangan berlama-lama di sini. Kita pulang lalu kamu istirahat di rumahku.”
Bunda. Apa kabar beliau. Bunda, ibu Lala, sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Ternyata banyak yang kurindukan dari kota ini. Andai saja dia …
“Ayo, Nad.. Sini kubantu bawa kopermu,” Lala membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya. Makasih La..”

Waktu seperti enggan berputar saat aku memasuki rumah ini. Rumah yang menyimpan sebagian besar kenangan kami, berdua dengannya…dan bertiga dengan Lala. Seharusnya aku tidak menuruti permintaannya untuk ikut, bahkan sambutan Bunda, tidak banyak membantu. Aku merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan, sesuatu yang tidak ingin aku tahu. Seperti juga sikap Lala malam ini.
“Nad….”
“Mmm....,” gumamku.
“Kamu baik-baik saja kan tiga tahun ini?”
“Baik…hidup harus jalan terus kan, La. Aku menikmati hidupku yang sekarang, pekerjaanku….”
“Hidup….termasuk kencan?” potongnya lirih.
“Beberapa…Cuma teman dekat, tapi…”
“Tapi kamu masih belum bisa melupakannya?”
“Sudahlah, La. Aku tidak ingin mengingat semuanya kembali . Semuanya sudah berakhir.”
“Mungkin, Nad…” nada suaranya berubah. “Mungkin semuanya sudah berakhir bagimu, baginya…tapi tidak bagiku.”
“La….”
“Maafkan aku, Nad,” ucapnya lirih sambil meraih tanganku. “Seharusnya aku tidak ikut campur.”
“Apa maksudmu?”
“Aku sudah tau semua dari awal. Kalian, Ary, dan kamu, perpisahan itu…semuanya sudah direncanakan. Aku hampir lemah ketika kamu datang padaku dengan air mata.”
“La!!!”
“Aku terpaksa membantunya untuk membuatmu jauh…”
“Kenapa???! Karena dia sahabatmu?? Lalu aku apa?”
“Nad…”
“Tega kamu!!!!”
“Aku….”
Aku terdiam, sejenak. Kutarik napas dalam untuk menghalau amarah dalam diriku.
“La, kamu tahu kabar dia? Dia masih di sini, di kota ini?”
“Nad….”
Lala menatapku dengan mata basah. Air mata itu, sekali aku pernah melihatnya, ketika ayahnya meninggal dunia karena serangan jantung, dan sekarang. Tiba-tiba rasa dingin datang menyergapku. Kesadaranku kembali, tatapan mata Lala saat menjemputku di bandara sama seperti tatapannya saat ini, bukan rasa haru tapi rasa sedih yang mendalam.
“Dia telah pergi, Nad…selamanya,” gumamnya perlahan memulai ceritanya.
Ada keheningan yang panjang ketika dia mengakhiri ceritanya. Larut dengan pikiran masing-masing. Tangis yang sedari tadi pecah masih tersisa.
“Sekali lagi…maafkan aku, Nad,” ucapnya.
“Seandainya kalian pernah berpikir, betapa perihnya hatiku saat ini, saat semuanya terungkap. Aku kehilangan untuk kedua kalinya, La,” ucapku dengan bibir bergetar, menahan amarah, kecewa dan sakit. “Aku mungkin masih bisa tegar saat itu, saat kami berpisah untuk terakhir kali. Tapi saat ini… semuanya benar-benar berakhir untuk selamanya. Tanpa sempat menatapnya untuk terkahir kali, mengecup bibirnya….”
Jarinya menggenggam erat jemariku, mencoba memberiku kekuatan.
“Entahlah, La…entah aku bisa memaafkan kalian atau tidak. Hanya waktu yang tahu….”
Aku bangkit dari duduk dan berlalu. Tanya yang hadir sejak surat Lala kuterima beberapa hari lalu kini terjawab sudah. Satu yang ada di kepalaku saat ini, berkemas dan pergi dari rumah ini besok pagi buta.

Senja ini begitu hening. Angin yang berembus perlahan dan mempermainkan ujung-ujung rambutku pun enggan mengganggu. Aku masih berusaha mencerna semuanya. Enam hari terakhir sejak aku kembali ke kota ini hingga tiga tahun ke belakang. Ucapan Lala masih terus terngiang di telingaku.
“Begitu tabah ia melewati hari-harinya. Cuci darah tanpa sepengetahuanmu, kemoterapi setelah kamu pergi. Sampai hari-hari terakhirnya, ia masih terus mengingatmu dan menganggap semua yang telah dilakukannya adalah yang terbaik. Dia sudah merencanakan semuanya. Dia tidak ingin melihatmu menderita, Nad.”

Hari ini…hari keempat sejak aku memutuskan pergi tanpa pamit dari rumah Lala dan menghilang untuk kedua kalinya. Empat hari yang hanya kuhabiskan untuk merenung di bibir pantai ini sambil memandangi langit senja yang kemerahan sambil malam menjelang. Ritual lama yang aku mulai dulu ketika beban hidup mulai menghimpitku atau ketika galau…seperti saat ini. Dan ritual kami, aku dan Ary, saat ia masih ada dalam hidupku.

“Indah ya…” Sebuah suara membuyarkan kekhusyukanku.
“Eh, iya… hmm, entah kenapa aku tak pernah bosan menatapnya,” ucapku kikuk, menutupi keterjutanku.
“Sama….,aku senang memandangi senja dengan langitnya yang kemerahan.”
“Aku Ary…,” tambahnya, sambil tetap menatap langit.
“Aku Nad….Nadya,” balasku.

Bayangan itu begitu nyata dan sempurna. Perkenalan kami enam tahun yang lalu, saat aku duduk di pantai ini. Satu di antara sekian kenangan yang satu per satu kembali hadir. Pun ketika ia melamarku di tahun kedua kebersamaan kami, di saat kami melewati senja untuk kesekian kalinya.

“Nad, seandainya bisa… kan kuhadiahkan sepotong senja ini untukmu,” katanya sambil mengecup keningku. “Maukah kau menemaniku melewati senja seumur hidupku?”

Senja masih menyisakan semburat jingganya. Aku belum beranjak. Masih terjebak dalam pusaran waktu. Ada keengganan untuk berpisah dari semua ini.

"Ah, seandainya semua kau ungkap dari awal, Ry… aku akan tinggal bersamamu, menerima melewati semuanya.”
Kuusap air mata yang terus luruh dengan ujung kemejaku. Kini, tiga tahun telah berlalu sejak perpisahan itu. Kenangan yang selama ini berusaha kulupakan masih tetap tersimpan di sudut hatiku. Senja pun masih tetap sama saat kami terkahir memandangnya.
“Ary, aku di sini…” bisikku sambil menerawang langit. “Adakah senja tampak lebih indah di sana bersama-Nya?”
Sunyi.
Ada desir rindu di sini, di hatiku.

6 April 2012


I love you’ means that I accept you for the person that you are and that I do not wish to change you into someone else. It means that I do not expect perfection from you - just as you do not expect it from me. It means that I will love you and stand by you even through the worst of times. It means loving you when you are in a bad mood or too tired to do the things I want to do. It means loving you when you are down - not just when you are fun to be with. ‘I love you’ means that I know your deepest secrets and do not judge you for them - asking in return only that you do not judge me for mine. It means that I care enough to fight for what we have and that I love enough not to let go. It means thinking of you, dreaming of you, wanting and needing you constantly, and hoping that you feel the same way for me.-P.S. I Love You-

5 April 2012

Rumah Hatimu #DearYou

Rumah. Sejauh manapun aku melangkah
dan berlari, kepadanya juga aku kembali.
Rumah. Karena di sanalah hati begitu 
nyaman berdiam. Ada rindu yang terus
bernyawa. Membawa inginku selalu kembali padanya.
Rumah itu kamu. Semesta nyaman
yang menjalar dan teduh yang berjajar.
Menguar rindu yang tak terbilang.
Mengeja cinta - tanpa tanda tanya,
berulang-ulang.
Rumah itu, hatimu.
(*taken from 'Dear You' by Moammar Emka)