Pages

7 April 2012

Sepotong Cerita Senja


Rasa-rasanya aku tak ingin kembali ke sini
Semua kenangan yang kucoba lupakan
Kembali menyerangku dari segala arah
Aku tak ingin bertemu orang-orang ini
Tempat-tempat ini
Namun aku tahu
Sedikit hatiku masih merindukan secuil kenangan di sini
….
Juanda International Airport-Surabaya 09:14 a.m

Aku meng-klik tulisan shut down pada layar notebook­-ku, menunggunya padam lalu menutupnya. Sejujurnya aku tidak ingin kembali ke kota ini. Kota yang menyimpan seribu kenanganku dengannya. Kota yang setengah mati ingin kuhapus dari memori otakku. Terlalu banyak kenangan tentangnya di sini.
Dua tahun lalu aku meninggalkan kota ini. Berharap aku bisa melupakannya dan segala tentangnya. Dua tahun yang sangat menyiksa. Sudah banyak yang berubah. Entahlah…
Menit demi menit berlalu sejak aku duduk di coffeeshop ini. Menunggu. Senyap. Sepi menggigit, kembali menyeretku ke satu memori. Memori akan saat-saat terakhir itu. Saat terakhir aku bersamanya.
“Apakah semuanya harus berakhir seperti ini…?” tanyaku, berusaha menghilangkan senyap di antara kami. Senyap yang selalu datang saat kami tak sejalan.
“Setelah semua yang kita lalui…apakah kau tetap ingin aku pergi?”
Tak satupun kata terucap dari bibirnya. Kata yang begitu kuharapkan dan bisa menahanku untuk tetap tinggal. Aku mencoba mencari jawaban di matanya. Namun dia berpaling menatap langit senja.
“Maaf, aku harus melupakan dirimu dan semuanya tentangmu. Mencintaimu adalah sebuah kesalahan bagiku. Dan aku baru menyadari itu. Maaf..” ucapnya lirih sambil bangkit dari duduknya. Dia menarik nafas, kemudian berlalu.
Kesunyian kembali hadir…tapi tak lagi sendiri. Kali ini dengan tetes-tetes air mata yang sedari tadi kutahan…

“Nad….”
Sentuhan halus di pundakku menyadarkanku. Kualihkan tatapan, sebersit haru di matanya saat kami berpandangan.
“Hai La…apa kabar?” tanyaku sambil tersenyum seraya cipika-cipiki. Lala, sahabatku….sahabat kami, masih seperti yang dulu. Manis dengan lesung pipitnya yang khas. Hmmh, kenapa semua yang kulihat di kota ini selalu menarikku ke saat itu… dan segala kenangan tentang dirinya?
“Baik. Akhirnya kamu kembali, Nad….,” jawabnya sambil menatapku. Tatapan yang membatku merasa canggung. Dua tahun tak bertemu membuat jarak antara kami semakin lebar. Ingin rasanya aku menangis di pelukannya, seperti yang sering kulakukan dulu saat aku ada masalah.
“Mmm…Nad, langsung ke rumahku aja ya…,” ajaknya.
“Hmmg… Aku…” ragu. Canggung. Entah apa yang akan terjadi jika aku harus ikut dia.
“Bunda sudah menunggu di rumah, Nad. Ayolah, jangan berlama-lama di sini. Kita pulang lalu kamu istirahat di rumahku.”
Bunda. Apa kabar beliau. Bunda, ibu Lala, sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Ternyata banyak yang kurindukan dari kota ini. Andai saja dia …
“Ayo, Nad.. Sini kubantu bawa kopermu,” Lala membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya. Makasih La..”

Waktu seperti enggan berputar saat aku memasuki rumah ini. Rumah yang menyimpan sebagian besar kenangan kami, berdua dengannya…dan bertiga dengan Lala. Seharusnya aku tidak menuruti permintaannya untuk ikut, bahkan sambutan Bunda, tidak banyak membantu. Aku merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan, sesuatu yang tidak ingin aku tahu. Seperti juga sikap Lala malam ini.
“Nad….”
“Mmm....,” gumamku.
“Kamu baik-baik saja kan tiga tahun ini?”
“Baik…hidup harus jalan terus kan, La. Aku menikmati hidupku yang sekarang, pekerjaanku….”
“Hidup….termasuk kencan?” potongnya lirih.
“Beberapa…Cuma teman dekat, tapi…”
“Tapi kamu masih belum bisa melupakannya?”
“Sudahlah, La. Aku tidak ingin mengingat semuanya kembali . Semuanya sudah berakhir.”
“Mungkin, Nad…” nada suaranya berubah. “Mungkin semuanya sudah berakhir bagimu, baginya…tapi tidak bagiku.”
“La….”
“Maafkan aku, Nad,” ucapnya lirih sambil meraih tanganku. “Seharusnya aku tidak ikut campur.”
“Apa maksudmu?”
“Aku sudah tau semua dari awal. Kalian, Ary, dan kamu, perpisahan itu…semuanya sudah direncanakan. Aku hampir lemah ketika kamu datang padaku dengan air mata.”
“La!!!”
“Aku terpaksa membantunya untuk membuatmu jauh…”
“Kenapa???! Karena dia sahabatmu?? Lalu aku apa?”
“Nad…”
“Tega kamu!!!!”
“Aku….”
Aku terdiam, sejenak. Kutarik napas dalam untuk menghalau amarah dalam diriku.
“La, kamu tahu kabar dia? Dia masih di sini, di kota ini?”
“Nad….”
Lala menatapku dengan mata basah. Air mata itu, sekali aku pernah melihatnya, ketika ayahnya meninggal dunia karena serangan jantung, dan sekarang. Tiba-tiba rasa dingin datang menyergapku. Kesadaranku kembali, tatapan mata Lala saat menjemputku di bandara sama seperti tatapannya saat ini, bukan rasa haru tapi rasa sedih yang mendalam.
“Dia telah pergi, Nad…selamanya,” gumamnya perlahan memulai ceritanya.
Ada keheningan yang panjang ketika dia mengakhiri ceritanya. Larut dengan pikiran masing-masing. Tangis yang sedari tadi pecah masih tersisa.
“Sekali lagi…maafkan aku, Nad,” ucapnya.
“Seandainya kalian pernah berpikir, betapa perihnya hatiku saat ini, saat semuanya terungkap. Aku kehilangan untuk kedua kalinya, La,” ucapku dengan bibir bergetar, menahan amarah, kecewa dan sakit. “Aku mungkin masih bisa tegar saat itu, saat kami berpisah untuk terakhir kali. Tapi saat ini… semuanya benar-benar berakhir untuk selamanya. Tanpa sempat menatapnya untuk terkahir kali, mengecup bibirnya….”
Jarinya menggenggam erat jemariku, mencoba memberiku kekuatan.
“Entahlah, La…entah aku bisa memaafkan kalian atau tidak. Hanya waktu yang tahu….”
Aku bangkit dari duduk dan berlalu. Tanya yang hadir sejak surat Lala kuterima beberapa hari lalu kini terjawab sudah. Satu yang ada di kepalaku saat ini, berkemas dan pergi dari rumah ini besok pagi buta.

Senja ini begitu hening. Angin yang berembus perlahan dan mempermainkan ujung-ujung rambutku pun enggan mengganggu. Aku masih berusaha mencerna semuanya. Enam hari terakhir sejak aku kembali ke kota ini hingga tiga tahun ke belakang. Ucapan Lala masih terus terngiang di telingaku.
“Begitu tabah ia melewati hari-harinya. Cuci darah tanpa sepengetahuanmu, kemoterapi setelah kamu pergi. Sampai hari-hari terakhirnya, ia masih terus mengingatmu dan menganggap semua yang telah dilakukannya adalah yang terbaik. Dia sudah merencanakan semuanya. Dia tidak ingin melihatmu menderita, Nad.”

Hari ini…hari keempat sejak aku memutuskan pergi tanpa pamit dari rumah Lala dan menghilang untuk kedua kalinya. Empat hari yang hanya kuhabiskan untuk merenung di bibir pantai ini sambil memandangi langit senja yang kemerahan sambil malam menjelang. Ritual lama yang aku mulai dulu ketika beban hidup mulai menghimpitku atau ketika galau…seperti saat ini. Dan ritual kami, aku dan Ary, saat ia masih ada dalam hidupku.

“Indah ya…” Sebuah suara membuyarkan kekhusyukanku.
“Eh, iya… hmm, entah kenapa aku tak pernah bosan menatapnya,” ucapku kikuk, menutupi keterjutanku.
“Sama….,aku senang memandangi senja dengan langitnya yang kemerahan.”
“Aku Ary…,” tambahnya, sambil tetap menatap langit.
“Aku Nad….Nadya,” balasku.

Bayangan itu begitu nyata dan sempurna. Perkenalan kami enam tahun yang lalu, saat aku duduk di pantai ini. Satu di antara sekian kenangan yang satu per satu kembali hadir. Pun ketika ia melamarku di tahun kedua kebersamaan kami, di saat kami melewati senja untuk kesekian kalinya.

“Nad, seandainya bisa… kan kuhadiahkan sepotong senja ini untukmu,” katanya sambil mengecup keningku. “Maukah kau menemaniku melewati senja seumur hidupku?”

Senja masih menyisakan semburat jingganya. Aku belum beranjak. Masih terjebak dalam pusaran waktu. Ada keengganan untuk berpisah dari semua ini.

"Ah, seandainya semua kau ungkap dari awal, Ry… aku akan tinggal bersamamu, menerima melewati semuanya.”
Kuusap air mata yang terus luruh dengan ujung kemejaku. Kini, tiga tahun telah berlalu sejak perpisahan itu. Kenangan yang selama ini berusaha kulupakan masih tetap tersimpan di sudut hatiku. Senja pun masih tetap sama saat kami terkahir memandangnya.
“Ary, aku di sini…” bisikku sambil menerawang langit. “Adakah senja tampak lebih indah di sana bersama-Nya?”
Sunyi.
Ada desir rindu di sini, di hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nggak afdol kalo nggak menyisipkan beberapa kata :)