Rasa-rasanya
aku tak ingin kembali ke sini
Semua kenangan
yang kucoba lupakan
Kembali
menyerangku dari segala arah
Aku tak ingin
bertemu orang-orang ini
Tempat-tempat
ini
Namun aku tahu
Sedikit hatiku
masih merindukan secuil kenangan di sini
….
Juanda International
Airport-Surabaya 09:14 a.m
Aku meng-klik tulisan
shut down pada layar notebook-ku, menunggunya padam lalu
menutupnya. Sejujurnya aku tidak ingin kembali ke kota ini. Kota yang menyimpan
seribu kenanganku dengannya. Kota yang setengah mati ingin kuhapus dari memori
otakku. Terlalu banyak kenangan tentangnya di sini.
Dua
tahun lalu aku meninggalkan kota ini. Berharap aku bisa melupakannya dan segala
tentangnya. Dua tahun yang sangat menyiksa. Sudah banyak yang berubah. Entahlah…
Menit
demi menit berlalu sejak aku duduk di coffeeshop
ini. Menunggu. Senyap. Sepi menggigit, kembali menyeretku ke satu memori.
Memori akan saat-saat terakhir itu. Saat terakhir aku bersamanya.
“Apakah semuanya harus berakhir seperti
ini…?” tanyaku, berusaha menghilangkan senyap di antara kami. Senyap yang
selalu datang saat kami tak sejalan.
“Setelah semua yang kita lalui…apakah kau
tetap ingin aku pergi?”
Tak satupun kata terucap dari bibirnya.
Kata yang begitu kuharapkan dan bisa menahanku untuk tetap tinggal. Aku mencoba
mencari jawaban di matanya. Namun dia berpaling menatap langit senja.
“Maaf, aku harus melupakan dirimu dan
semuanya tentangmu. Mencintaimu adalah sebuah kesalahan bagiku. Dan aku baru
menyadari itu. Maaf..” ucapnya lirih sambil bangkit dari duduknya. Dia menarik
nafas, kemudian berlalu.
Kesunyian kembali hadir…tapi tak lagi
sendiri. Kali ini dengan tetes-tetes air mata yang sedari tadi kutahan…
“Nad….”
Sentuhan
halus di pundakku menyadarkanku. Kualihkan tatapan, sebersit haru di matanya
saat kami berpandangan.
“Hai
La…apa kabar?” tanyaku sambil tersenyum seraya cipika-cipiki. Lala,
sahabatku….sahabat kami, masih seperti yang dulu. Manis dengan lesung pipitnya
yang khas. Hmmh, kenapa semua yang
kulihat di kota ini selalu menarikku ke saat itu… dan segala kenangan tentang
dirinya?
“Baik.
Akhirnya kamu kembali, Nad….,” jawabnya sambil menatapku. Tatapan yang membatku
merasa canggung. Dua tahun tak bertemu membuat jarak antara kami semakin lebar.
Ingin rasanya aku menangis di pelukannya, seperti yang sering kulakukan dulu
saat aku ada masalah.
“Mmm…Nad,
langsung ke rumahku aja ya…,” ajaknya.
“Hmmg…
Aku…” ragu. Canggung. Entah apa yang akan terjadi jika aku harus ikut dia.
“Bunda
sudah menunggu di rumah, Nad. Ayolah, jangan berlama-lama di sini. Kita pulang
lalu kamu istirahat di rumahku.”
Bunda.
Apa kabar beliau. Bunda, ibu Lala, sudah kuanggap seperti ibu kandungku
sendiri. Ternyata banyak yang kurindukan dari kota ini. Andai saja dia …
“Ayo,
Nad.. Sini kubantu bawa kopermu,” Lala membuyarkan lamunanku.
“Oh,
iya. Makasih La..”
Waktu
seperti enggan berputar saat aku memasuki rumah ini. Rumah yang menyimpan
sebagian besar kenangan kami, berdua dengannya…dan bertiga dengan Lala.
Seharusnya aku tidak menuruti permintaannya untuk ikut, bahkan sambutan Bunda,
tidak banyak membantu. Aku merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan, sesuatu
yang tidak ingin aku tahu. Seperti juga sikap Lala malam ini.
“Nad….”
“Mmm....,”
gumamku.
“Kamu
baik-baik saja kan tiga tahun ini?”
“Baik…hidup
harus jalan terus kan, La. Aku menikmati hidupku yang sekarang, pekerjaanku….”
“Hidup….termasuk
kencan?” potongnya lirih.
“Beberapa…Cuma
teman dekat, tapi…”
“Tapi
kamu masih belum bisa melupakannya?”
“Sudahlah,
La. Aku tidak ingin mengingat semuanya kembali . Semuanya sudah berakhir.”
“Mungkin,
Nad…” nada suaranya berubah. “Mungkin semuanya sudah berakhir bagimu,
baginya…tapi tidak bagiku.”
“La….”
“Maafkan
aku, Nad,” ucapnya lirih sambil meraih tanganku. “Seharusnya aku tidak ikut
campur.”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
sudah tau semua dari awal. Kalian, Ary, dan kamu, perpisahan itu…semuanya sudah
direncanakan. Aku hampir lemah ketika kamu datang padaku dengan air mata.”
“La!!!”
“Aku
terpaksa membantunya untuk membuatmu jauh…”
“Kenapa???!
Karena dia sahabatmu?? Lalu aku apa?”
“Nad…”
“Tega
kamu!!!!”
“Aku….”
Aku
terdiam, sejenak. Kutarik napas dalam untuk menghalau amarah dalam diriku.
“La,
kamu tahu kabar dia? Dia masih di sini, di kota ini?”
“Nad….”
Lala
menatapku dengan mata basah. Air mata itu, sekali aku pernah melihatnya, ketika
ayahnya meninggal dunia karena serangan jantung, dan sekarang. Tiba-tiba rasa
dingin datang menyergapku. Kesadaranku kembali, tatapan mata Lala saat
menjemputku di bandara sama seperti tatapannya saat ini, bukan rasa haru tapi
rasa sedih yang mendalam.
“Dia
telah pergi, Nad…selamanya,” gumamnya perlahan memulai ceritanya.
Ada
keheningan yang panjang ketika dia mengakhiri ceritanya. Larut dengan pikiran
masing-masing. Tangis yang sedari tadi pecah masih tersisa.
“Sekali
lagi…maafkan aku, Nad,” ucapnya.
“Seandainya
kalian pernah berpikir, betapa perihnya hatiku saat ini, saat semuanya
terungkap. Aku kehilangan untuk kedua kalinya, La,” ucapku dengan bibir
bergetar, menahan amarah, kecewa dan sakit. “Aku mungkin masih bisa tegar saat
itu, saat kami berpisah untuk terakhir kali. Tapi saat ini… semuanya
benar-benar berakhir untuk selamanya. Tanpa sempat menatapnya untuk terkahir
kali, mengecup bibirnya….”
Jarinya
menggenggam erat jemariku, mencoba memberiku kekuatan.
“Entahlah,
La…entah aku bisa memaafkan kalian atau tidak. Hanya waktu yang tahu….”
Aku
bangkit dari duduk dan berlalu. Tanya yang hadir sejak surat Lala kuterima
beberapa hari lalu kini terjawab sudah. Satu yang ada di kepalaku saat ini,
berkemas dan pergi dari rumah ini besok pagi buta.
Senja
ini begitu hening. Angin yang berembus perlahan dan mempermainkan ujung-ujung
rambutku pun enggan mengganggu. Aku masih berusaha mencerna semuanya. Enam hari
terakhir sejak aku kembali ke kota ini hingga tiga tahun ke belakang. Ucapan
Lala masih terus terngiang di telingaku.
“Begitu tabah ia melewati hari-harinya.
Cuci darah tanpa sepengetahuanmu, kemoterapi setelah kamu pergi. Sampai
hari-hari terakhirnya, ia masih terus mengingatmu dan menganggap semua yang
telah dilakukannya adalah yang terbaik. Dia sudah merencanakan semuanya. Dia
tidak ingin melihatmu menderita, Nad.”
Hari
ini…hari keempat sejak aku memutuskan pergi tanpa pamit dari rumah Lala dan
menghilang untuk kedua kalinya. Empat hari yang hanya kuhabiskan untuk merenung
di bibir pantai ini sambil memandangi langit senja yang kemerahan sambil malam
menjelang. Ritual lama yang aku mulai dulu ketika beban hidup mulai
menghimpitku atau ketika galau…seperti saat ini. Dan ritual kami, aku dan Ary,
saat ia masih ada dalam hidupku.
“Indah ya…” Sebuah suara membuyarkan
kekhusyukanku.
“Eh, iya… hmm, entah kenapa aku tak
pernah bosan menatapnya,” ucapku kikuk, menutupi keterjutanku.
“Sama….,aku senang memandangi senja
dengan langitnya yang kemerahan.”
“Aku Ary…,” tambahnya, sambil tetap
menatap langit.
“Aku Nad….Nadya,” balasku.
Bayangan
itu begitu nyata dan sempurna. Perkenalan kami enam tahun yang lalu, saat aku
duduk di pantai ini. Satu di antara sekian kenangan yang satu per satu kembali
hadir. Pun ketika ia melamarku di tahun kedua kebersamaan kami, di saat kami
melewati senja untuk kesekian kalinya.
“Nad, seandainya bisa… kan kuhadiahkan
sepotong senja ini untukmu,” katanya sambil mengecup keningku. “Maukah kau
menemaniku melewati senja seumur hidupku?”
Senja
masih menyisakan semburat jingganya. Aku belum beranjak. Masih terjebak dalam
pusaran waktu. Ada keengganan untuk berpisah dari semua ini.
"Ah, seandainya semua kau ungkap
dari awal, Ry… aku akan tinggal bersamamu, menerima melewati semuanya.”
Kuusap
air mata yang terus luruh dengan ujung kemejaku. Kini, tiga tahun telah berlalu
sejak perpisahan itu. Kenangan yang selama ini berusaha kulupakan masih tetap
tersimpan di sudut hatiku. Senja pun masih tetap sama saat kami terkahir
memandangnya.
“Ary,
aku di sini…” bisikku sambil menerawang langit. “Adakah senja tampak lebih
indah di sana bersama-Nya?”
Sunyi.
Ada
desir rindu di sini, di hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nggak afdol kalo nggak menyisipkan beberapa kata :)