Aku meringis ketika melihat
persediaan beras Emak yang tinggal sedikit. Kalender yang menggantung di
dinding dapur menunjukkan tanggal sepuluh. Masih
awal bulan, tapi beras tinggal sedikit. Batinku. Sejujurnya aku ingin
membantu Emak, tapi aku hanyalah anak kecil ingusan yang tak tahu apa–apa soal
dapur dan isinya. Yang aku tahu hanyalah berangkat sekolah di pagi hari, lalu
siangnya ke sawah dan sore hari ke surau pak Kaji.
Emak
adalah perempuan tangguh dan tahan banting. Emak tidak pernah sama sekali mengeluh
tentang kondisinya yang serba kekurangan. Emak tidak seperti aku yang sering
berkata ‘Seandainya saja’. Emak tidak pernah sama sekali menangisi hidupnya
yang terlampau kejam terhadapnya.
“Duuuuuul . . .
. . . jaga adikmu! Emak ingin ke rumah bu lurah sebentar. Ono urusan (ada urusan). Kau jangan pergi kemana – mana!” perintah
Emak sambil tergesa – gesa.
“Ada urusan apa,
Mak? Sepertinya penting sekali,” aku memandang Emak dengan penuh tanya. Tidak
biasanya emak seperti ini. Biasanya jika
Emak pergi selalu menyuruh aku untuk ikut serta. Namun kali ini Emak malah
menyuruhku tinggal di rumah menjaga adikku, Buyung, yang masih berusia delapan
belas bulan.
“Awakmu sih cilik, Dul (kamu masih kecil,
Dul). Ora perlu ngerti (tidak perlu
tahu) . Wis..Emak pergi dulu. Hati –
hati kau di rumah. Assalamu’alaikum,” pamit Emak sambil menyambar tas hitam
besar kebanggannya. Kata Emak jika beliau memakai tas hitam besar itu, beliau
tak kalah gengsi dengan istri pejabat. Ahh…Emak ada – ada saja.
Namun, tas itu
memang bersejarah bagi Emak. Tas hitam merek GUESS imitasi itu adalah hadiah dari Bapak tiga tahun yang lalu, saat
pulang dari Taiwan, tempatnya menjadi TKI.
Ya. Bapakku
adalah seorang TKI. Aku tidak tahu Bapak TKI legal atau illegal. Yang
kutahu hanyalah Bapak kerja di sebuah perusahaan di sana.
Tujuh
tahun yang lalu . . .
“TKI??? Arep dadi TKI (mau jadi TKI) ? Gawe opo, Pak (untuk apa, Pak) ?” Emak
memandang Bapak dengan mimik muka yang susah ditebak. Antara terkejut dan
heran. “Lalu, bagaimana denganku dan Abdul, Pak? Apa Bapak tega meninggalkan
aku dan Abdul? Apa pekerjaan sebagai sopir bis masih kurang?” Emak memberondong
Bapak dengan pertanyaan yang bernada memojokkan. Namun, bapak hanya diam. Tidak
satupun kata keluar dari mulut Bapak. Esoknya Bapak menenteng tas besar.
Menunjukkan keseriusan niatnya. Emak hanya diam sambil sesekali menyeka bulir –
bulir air mata yang jatuh ke pipinya.
Saat itu aku
masih berusia tujuh tahun. Namun ingatanku tentang kejadiaan itu masih sangat
lekat. Kejadian saat bapak pergi bekerja menjadi TKI.
Lima tahun
kemudian bapak pulang ke kampung. Memang selama lima tahun itu, Bapak selalu
mengirimkan uang yang berlebih. Tapi aku merasa tidak pernah mendapat kasih
sayang dari seorang ayah yang seharusnya aku dapatkan.
Saat pulang, Bapak
hanya tinggal selama dua minggu. Waktu yang sangat singkat bagiku, mengingat Bapak
telah meninggalkan kami selama tiga tahun. Dan hanya terbayar dengan dua minggu
saja. Di rumah pun, Bapak selalu sibuk kesana kemari. Pagi – pagi berangkat dan
baru datang setelah adzan isya’ berkumandang. Saat aku tanya mengapa Bapak
jarang di rumah, Bapak hanya menjawab ono
urusan, kowe ora perlu ngerti, sih cilik (ada urusan, kamu tidak perlu tahu,
masih kecil).
Lalu tiba –
tiba, Bapak sudah berkemas untuk kepulangannya ke Taiwan. Ahh, Bapak…andaikan Bapak
tahu aku sangat merindukannya. Tapi saat itu aku masih kecil, tidak tahu menahu
tentang urusan orang tua dan tidak mau tahu. Selain itu Bapak bukan tipe
seorang ayah yang romantis, yang ingin dipeluk anaknya ketika pulang dari
bekerja. Bapak adalah seorang yang keras, egois, dan pelit bicara tapi ulet
dalam bekerja, watak khas orang Madura.
***